Kamis, 24 November 2011

Review Journal


Jurnal Lokal
Judul               : “Penerapan Prinsip-prinsip Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dalam Meningkatkan Keefektifan Proses Pembelajaran IPA di SD di Kota Tegal”
Pengarang      : PVM. Sunaryo
Tahun              : 1999
Sumber           : http://lppm.ut.ac.id/jp/21sunaryo.htm

Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dalam pembelajaran IPA memiliki peranan yang sangat strategis dalam membangun keaktifan dari siswa agar terlibat dalam aktivitas belajar mengajar. Menurut Eggen & Kauchak (1998), siswa belajar secara efektif bila siswa secara aktif terlibat dalam pengorganisasian dan penemuan pertalian-pertalian (relationships) dalam informasi yang dihadapi.
Kedua ahli tersebut menjelaskan bahwa terdapat enam ciri pembelajaran yang efektif, yaitu: (1) siswa menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkungannya melalui kegiatan mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan dan perbedaan, selain itu siswa mampu membentuk konsep berdasarkan kesamaan dan perbedaan yang ditemukan, (2) guru menyediakan materi sebagai fokus berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran, (3) aktivitas-aktivitas siswa sepenuhnya didasarkan pada pengkajian, (4) guru secara aktif terlibat dalam pemberian arahan dan tuntunan kepada siswa dalam menganalisis informasi, (5) orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan pengembangan keterampilan berpikir, serta (6) guru menggunakan teknik mengajar yang bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya mengajar guru.
            Penerapan prinsip CBSA yang baik dan benar dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak dan membantu anak memahami materi IPA yang diberikan.
Penelitian dilakukan pada tanggal 21 April – 8 Mei 1999 di Kotamadya Tegal dengan melibatkan 51 guru kelas 4, 5, dan 6 Sekolah Dasar. Data dikumpulkan melalui observasi dengan menggunakan instrumen "Lembar Observasi". Data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif (Hadi, S. 1970). Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah memang terbukti CBSA mampu membantu keefektifan siswa dalam belajar sains, namun dalam penerapannya masih terdapat kekurangan, antara lain: guru/pengajar masih tetap mendominasi, terbatasnya alat peraga, dan juga guru/pengajar lah yang membuat kesimpulan sehingga siswa hanya tinggal meniru.
Berdasarkan buku ”Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat” oleh Utami Munandar dan merujuk pada bab 7, dapat dikatakan bahwa kebanyakan siswa yang berbakat menyukai pelajaran sains, dalam hal ini IPA, karena bagi mereka sains memiliki tantangan.
Sebaiknya, perlu diperhatikan bahwa peran guru sebagai fasilitator pada pembelajaran sains ini menurut Renzulli yang didasari dari Sisk, 1987 adalah sebagai berikut:
  1. mengakses minat siswa
  2. memperkenalkan kepada siswa berbagai bidang minat
  3. melakukan wawancara pribadi terhadap siswa
  4. mengembangkan rencana tertulis
  5. menentukan arah dan waktu siswa berbakat
  6. membantu siswa dalam mencari bermacam-macam sumber
  7. melakukan sumbang saran terhadap produk akhir
  8. memberi bantuan dalam metodologi yang perlu
  9. membantu siswa berbakat dalam menemukan pendengar untuk presentasi siswa
  10. menilai hasil studi bersama siswa berbakat dan mempertimbangkan bidang yang diteliti.
Selain itu, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa bagaimana mendorong anak-anak tersebut untuk bekerja sesuai dengan tingkat kemampuannya.


 
Jurnal Internasional
Judul               : “Connecting the GPE and APE Curricula for Students with Mild and Moderate Disabilities”
Pengarang      : Luke E. Kelly
Tahun              : 2011
Sumber           : ProQuest Research Library

 
Pembahasan jurnal ini adalah tentang seorang anak perempuan bernama Laura, berusia 10 tahun yang memiliki skor IQ < 60. Oleh orangtuanya, Laura dimasukkan ke dalam General Physical Education (GPE) selama empat tahun terakhir. Laura memiliki masalah dalam motoriknya, sehingga terdapat kesulitan apabila ia harus dihadapkan pada olahraga yang menuntut kecepatan motoriknya. Pengajar jasmaninya, Ms. Badger khawatir Laura akan terluka, meskipun beliau mengatakan bahwa Laura menyukai olahraga. Tantangan di sini adalah untuk menyesuaikan kurikulum GPE untuk mengatasi kebutuhan siswa penyandang cacat.
            Dalam piramida kurikulum GPE, pertama kali dipelajari adalah bagaimana manajeman tubuh dan keterampilan gerakan motorik, kemudian dikombinasikan dalam untuk belajar dalam kegiatan permainan olahraga. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa sementara siswa penyandang cacat intelektual, seperti Laura, umumnya tertunda dalam kebugaran dan keterampilan motor-pembangunan, mereka dapat belajar dan menguasai keterampilan motorik dasar seperti berlari, menendang, dan melempar (Brace, 1968; Corder, 1966 ; Eichstaedt, Wang, Polacek, & Dohrmann, 1991; Malpass, 1960; Rarick, Dobbins, & Anak panah, 1976; Sugden, & Keogh, 1990). Banyak siswa penyandang cacat memasuki tahapan perkembangan kurikulum GPE belakang dan belajar pada tingkat lebih lambat. Dalam kasus Laura, ia mengalami keterlambatan dalam proses awalnya, sehingga ia tidak mengalami peningkatan, tidak menguasai salah satu keterampilan, dan pasti mengalami jatuh di setiap tahunnya. Idealnya, keputusan pemrograman kurikuler bagi siswa penyandang cacat harus dibuat oleh APE dan guru bekerja secara kolaboratif GPE.
            Berdasarkan buku ”Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat” oleh Utami Munandar dan merujuk pada bab 7, adanya pelaksanaan kurikulum 1994 yang menunjang pendiferensiasi kurikulum untuk para siswa berbakat melalui pilihan dan metode dan cara pembelajaran yang dapat ditentukan sendiri oleh guru/sekolah dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Dalam hal ini, terdapat kurikulum GPE yang berupaya membantu anak-anak yang memiliki disability dalam hal ini, adalah bidang gerak (motorik) atau fisikal.
Kurikulum berdiferensiasi bertujuan memberikan pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan minat dan juga dengan kemampuan intelektual siswa. Tujuan adanya kurikulum berdiferensiasi ini adalah untuk menimbulkan tantangan, kepuasan, dan menggerakkan siswa secara aktif dan tidak merasa bosan, sehingga dengan begitu, akan menghindari anak-anak underachiever untuk putus sekolah. Dalam kasus Laura, guru perlu memberikan kontribusi yang lebih besar lagi dalam upaya membantu Laura perlahan-lahan mampu meningkatkan kemampuan gerakan motoriknya.

Jika dibandingkan referensi yang diuraikan diatas, dapat dilihat bahwa pada buku ”Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat” (terutama pada bab 7), lebih berfokus pada pengembangan kurikulum berdiferensiasi untuk siswa berbakat. Jadi, disini ditekankan bahwa untuk melayani kebutuhan pendidikan anak berbakat perlu diusahakan pendidikan yang berdiferensiasi, yang berarti adalah memberikan pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan intelektual dan juga minat siswa. Kemudian, hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa keberbakatan tidak akan muncul apabila kegiatan terlalu mudah dan tidak mengandung tantangan bagi anak berbakat sehingga kemampuan mereka yang unggul tidak akan tampil (Stanley, dikutip Utami Munandar, 1992).
            Pada jurnal pertama (lokal), menekankan pada cara pendekatan belajar aktif, yang juga merupakan salah satu strategi modifikasi  pembelajaran anak berbakat, dimana terdapat modifikasi lingkungan belajar, yang dapat memungkinkan semua siswa merasa bebas untuk belajar dan dapat belajar dengan caranya sendiri. Namun dalam hal ini, siswa dituntut untuk aktif dan juga ditantang untuk berpikir kritis untuk dapat menjawab pertanyaannya sendiri. Pada bidang sains, cara belajar aktif membuat siswa mampu mempelajari konsep dengan lebih mudah.
Sementara jika dilihat dari jurnal internasional, Laura tergolong dalam anak berbakat yang ”underachiever”. Kita harus menghargai potensi atau bibit unggul dan dikembangkan menjadi prestasi yang luar biasa. Anak dengan potensi yang luar biasa merupakan sumber daya yang berkualitas. Oleh karena itu, orangtua Laura memasukkan Laura pada sekolah yang memiliki kurikulum GPE (General Physical Education), yang memiliki program untuk melatih gerakan motorik anak-anak yang memiliki disability pada bagian motorik, seperti yang dialami Laura. Jadi pada intinya, kurikulum GPE tersebut merupakan bentuk kurikulum diferensiasi, dimana pengolahan kurikulum tersebut adalah mengenai bagaimana mengajarkan anak-anak underachiever dan dipercaya dapat mengembangkan kemampuan motorik anak underachiever secara perlahan-lahan dan bertahap, karena kurikulum GPE tersebut merupakan kurikulum yang dibuat untuk anak-anak penyandang cacat.

1 komentar:

  1. Irun...
    yang pertama, mengapa tidak ada link address-nya?
    kedua, saya tidak menemukan dimana uraian perbandingan dari beberapa referensi yang kamu uraikan?

    BalasHapus